MAMASA,- Menjalani hidup dimasa tua dengan atap alang-alang yang telah bocor dan ayaman dinding serta lantai dari bambu yang mulai lapuk, begitulah kisah dua Manula (Manusia Lanjut Usia) di Balla Tumuka , Kabupaten Mamasa yakni, Nenek Tande  dan Kakek Edi yang hanya menggantungkan hidupnya sebagai buruh tani dan pemberian tetangga.Laporan: HAPRI NELPAN.

Niat awal hendak mencari bibit Kopi Toraja sehingga mengantarkan kami pada wilayah Desa Balla Tumuka, Kecamatan Balla yang jaraknya dapat ditempuh  dari pusat Kota Mamasa sekitar 25 menit.

Kondisi jalan antar desa yang masih dalam tahap pengerasan membuat setiap pengendara harus berhati-hati apalagi suasana jalannya yang berkelok, menungkik bahkan beberapa parit bayangan banyak ditemui akibat beberapa saluran mulai tertutup tanah.

Tepat matahari berada di ubun-ubun ketika roda dua yang kami gunakan bersama seorang rekan se profesi tiba di Dusun Rantemasanda, Desa Balla Tumuka, perkampungan yang letaknya berdekatan dengan area wisata, Buntu Mussa’ memberi daya tarik tersendiri. Deretan rumah adat Mamasa pada wilayah tersebut serta keramahan penduduk seolah menunjukkan bahwa masyarakat setempat masih menjunjung tinggi nilai-nilai budaya leluhurnya.

Setelah beberapa menit berjalan kaki mengelilingi kampung mencari bibit Kopi Toraja, ayunan kaki tiba disebuah rumah reyot dengan atap alang-alang yang telah bocor serta lantai dan dinding dari bambu yang mulai lapuk, sontak kami menyapa pemilik rumah dan selang waktu beberapa detik, Nenek Tande balas menyapa sembari membersihkan bekas arang dibagian wajahnya lalu mempersilahkan ke atas rumah.

Kayu yang mulai lapuk dengan berlantai bambu yang juga mulai lapuk membuat kami harus berhati-hati saat melangkah bahkan sesekali terdengar retakan ketika seorang kerabat yang menemani ceroboh mengayunkan kaki.

Hidup sebagai buruh tani dengan upah Rp 25.000 hingga Rp 35.000 per hari jika kesehatan lagi mendukung demikianlah cara , Nenek Tande memperjuangkan masa tuanya.

“Saya tidak memiliki sawah dan kebun sebab telah diwariskan ke anak saya dan saat saya bercerai dengan suami hanya dengan membantu orang ke sawah atau ke kebunnya sawah diberikan upah sesuai kerelaan, kadang juga bila sakit jika bukan anak saya yang datang membawa beras maka tetangga kadang memberikan makanan,”ujar Nenek Tande, Selasa (7/7).

Selain sebagai buruh tani, Nenek Tande juga sering mencari rumput jenis Seong dilokasi pengembalaan kerbau untuk dijual guna memenuhi kebutuhan hidupnya.

Memiliki tiga orang anak  yang sudah berkeluarga dengan lahan garapan terbatas, sebagai petani tentu hanya cukup untuk menghidupi cucu nenek Tande hingga membuat dirinya tidak mengantungkan hidupnya terhadap kedua anaknya yang tinggal se kampung dengannya.

Diumur yang telah mencapai sekitar 71 tahun nenek Tande telah memiliki 8 orang cucu namun ketika dirundung di rindu, ia memilih mengunjungi cucunya lantaran takut cucunya jatuh saat bermain di rumah miliknya yang dibangun sekitar 50 tahun yang lalu oleh orang tua Nenek Tande .

“Nenek Tande bila sakit biasanya kami tetangganya secara bergantian menengok dan memberikan makanan, apalagi dia tinggal di rumah hanya seorang diri,”tutur Langi’ Lempan yang juga memiliki hubungan keluarga dengan nenek Tande.

Hampir semua bagian rumah, kata Langi’ telah dilewati air hujan sehingga saat musim hujan kadang nenek tersebut tidur dengan gabah yang diberikan tetangga sebab hanya bagian dapur dan kamar tidur yang tidak ditetesi air hujan.

Hal serupa juga dirasakan Kakek ,Edy (70)  yang letak kediamannya sekitar 50 meter dari rumah Nenek Tande. Beratap alang-alang yang telah bocor, berlantai dan berdinding bambu yang mulai lapuk begitulah kondisi kediaman Kakek Edy.

Saat kami menghampiri Kakek Edy,  di teras rumah miliknya ia sedang sibuk dengan gulungan tembakau dari kulit jagung. Sesekali gulungan itu dihisap perbincangan kami mulai dengan volume suara yang harus keras lantaran pendengaran kakek tersebut kurang baik.

Jika Nenek Tande berstatus sebagai janda maka Kakek Edy berstatus sebagai duda yang juga hidup sendiri dikediamannya yang telah reyot. Hidup dengan mengolah sepetak sawah dimasa tuanya tetap ia lakukan agar tidak bergantung pada pendapatan orang lain.

“Hasil sawah saya meskipun hanya 5 sampai enam karung 50 kilo gram, dapat sedikit membantu hingga menunggu masa panen berikutnya,”tutur Kakek Edy sembari menghembuskan gumpalan asap tembakau dari mulutnya.

Atap bagian depan dan bagian samping rumah, menurut Kakek Edy telah bocor hingga membuat dinding dan lantai lapuk, dirinya ingin memperbaiki rumah tersebut namun pendapatannya hanya mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dirinya pernah berupaya memperbaiki bagian atap rumah namun kemampuan untuk memanjat telah berkurang sehingga rencana tersebut dibatalkan lantaran tidak memiliki biaya untuk mengupah orang lain.

Sementara ditempat yang berbeda.Kepala Desa Balla Tumuka, D.Deppalulun menerangkan. Kedua Lansia yakni Nenek Tande dan Kakek Edy memang memiliki kediaman yang terancam reyot , pihaknya telah beberapa kali mengusulkan untuk memperoleh bantuan rumah tidak layak huni namun hingga sekarang belum ada respon.

“Kami pernah berinisiatif memperbaiki namun pertimbangan lain bahwa masih ada enam rumah di wilayah Desa Balla Tumuka yang mengalami kondisi serupa dan bisa jadi sebagian akan cemburu bila tidak sekaligus sehingga rencana tersebut dibatalkan,”tutur Kades.

Selain Kartu BPJS Kesehatan, hingga sekarang belum ada jenis bantuan pemerintah yang diterima Nenek Tande dan Kakek Edy baik berupa Program Keluarga Harapan (PKH) bahkan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT),ungkap Deppalulun.

Mestinya orang seperti Nenek Tande dan Kakek Edy, kata Deppalulun yang menjadi perhatian sebab mereka sudah tidak mampu bekerja karenanya, sangat diharapkan adanya bantuan Pemerintah Daerah (Pemda) guna meringankan hidup lansia tersebut.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here