MAMASA, Komunika Nusantara. Hamparan persawahan yang cukup luas ditambah lagi banyaknya potensi lembah-lembah yang dapat diolah menjadi kolam bahkan hampir setiap penduduknya memiliki sawah, hal tersebut memberikan peluang bagi Warga Bussu, Desa Mesakada dalam mengembangkan sektor pertanian dan perikanan di wilayahnya.

Bussu atau Desa Mesakada merupakan desa pertama dilalui pada wilayah Kecamatan Tandukkalua jika pelintas dari arah Polewali-Mamasa yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Sumarorong. Kampung tersebut selain terkenal dengan hasil nenas para petani yang dijajakan pada tepi jalan, wilayah ini juga terkenal dengan produksi padi yang cukup melimpah sehingga sudah jelas bahwa dominan masyarakatnya hidup sebagai petani.

Dipagi itu kabut masih membasahi wajah saat roda dua kami pacu menuju lahan perikanan milik, Antonius yang juga sebagai Pegawai Negeri Sipil  (PNS) di Balai Benih Ikan (BBI) Tamanlantik, dengan rasa ingin tahu bagaimana proses perkawinan ikan mas, penetasan telur bahkan sistem pendederan ikan.

Setelah roda dua menepi dipinggir jalan hanya berjalan kaki sekitar 200 meter akhirnya tiba pada tempat tujuan, sepetak kolam sebentar lagi bibit ikan siap dipanen, dua petak lainnya merupakan wadah pemisahan ikan jantan dan betina bahkan beberapa petak lainnya masih dalam tahap pembajakan sebelum larva ikan ditebar.

Pada petak yang lain terdapat dua kelambu ikan telah disiapkan sebelumnya, hanya dengan dua ekor indukan ikan nyaris seukuran bantal guling dengan masing-masing pejantan 9 ekor dapat menghasilkan telur ribuan yang melekat pada bulu ijuk dan kelambu ikan.

Berselang waktu 5 lima hari menurut, Antonius maka telur tersebut akan menetas dan menjadi larva yang kemudian dilanjutkan pada sistem pendederan ikan bersama dengan anggota kelompok binaannya di Bussu yakni, Kelompok Budidaya Perikanan (Pokdakan) Dioskuri.

“Sesuai perhitungan saya lahan pendederan dengan ukuran 15 x15 meter dapat diisi larva ikan sekitar 10.000 ekor mampu mengahasilkan sekitar 3.000 bibit ikan usia 5 Minggu dengan harga jual yang variatif dari Rp 300 – 5.000,”tutur Antonius sembari memperbaiki wadah penetasan telur ikan, Jumat (20/11).

Lelaki beranak tiga itu juga berpendapat, “Sebenarnya jika bicara keuntungan dari perhitungan jumlah larva hingga menjadi bibit dapat dikatakan hanya 30% keberhasilan karena jumlah sarana pada sistem pendederan belum maksimal yang sewajarnya hasil bibit dari 10.000 larva mencapai sekitar 7.000 ekor bibit ikan,”terangnya.

Sesekali menghembuskan gumpalan asap tembakau dan dengan kehati-hatian meletakkan telur ikan di wadah baru agar tidak pecah, Antonius juga beranggapan. Soal peluang Bussu untuk budidaya ikan sangat menjanjikan namun tinggal keseriusan masyarakat dan perhatian pemerintah daerah dalam membenahi sejumlah sarana penunjang seperti jaring-jaring, pupuk dan pakan ikan dengan kandungan protein yang cukup tinggi.

Di tempat yang sama pada sela-sela waktu pembersihan kolam penebaran larva ikan, Ketua Pokdakan Dioskuri, Rein juga menambahkan, Tantangan dalam kegiatan budidaya ikan yakni, masalah gangguan burung, biawak serta sulitnya ditemukan pupuk jenis SP3. “Jenis ini kadang kami campurkan dengan pupuk kandang sebagai pupuk kolam sebelum larva ditebar,  sejak Juni 2020 sudah tidak ditemukan sementara jenis lain harganya terus meningkat dan kurang cocok,”tuturnya sembari menyeruput minuman kopi di pematang kolam.

Mengenai pasaran kata lelaki paruh baya itu,  justru ikan yang tidak ada atau kurang untuk dijual sehingga hasil budidaya kelompok kadang kami bagikan ke anggota yang selebihnya dijual untuk menjadi modal atau dana kelompok.

“Potensi pengembangan sektor perikanan di Bussu memang sangat sebab masih banyak lembah-lembah yang belum tergarap dapat dimanfaatkan sebagai kolam ikan,”Kunci Rein.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here